Bicara Dendam
Tadi pagi saya melihat cuitan seseorang yang pada intinya dia bilang seperti ini:
'apa perkataan nyakitin yang orang pernah ucapin ke lo dan lo gak akan pernah bisa lupain?'
Saya diam sebentar dan tertegun. Pikiran saya melaju mundur sejauh kemampuan otak saya dapat mengeluarkan memori-memori buruk yang pernah terjadi dalam hidup saya ini. Setelah kurang lebih lima menit berpikir, saya sampai pada satu kesimpulan:
Seumur hidup, saya tidak pernah punya kenangan buruk dengan orang lain atau mendapatkan ucapan serta perilaku yang sangat menyakitkan - to the point that i hate this person so much - kecuali dari satu orang. Satu orang yang sepertinya sampai saya mati, saya akan selalu mendendam terhadapnya.
*
Suatu waktu, seseorang pernah secara aktif dan terbuka menunjukkan kebenciannya terhadap saya. Segala cara orang ini lakukan untuk menyerang saya secara pribadi melalui hasutan, fitnahan, bahkan sampai memaki saya secara langsung dengan kata-kata yang sangat jahat dan menyakitkan. Saat itu dan bahkan sampai saat ini, saya tidak pernah tahu penyebab sebenarnya mengapa orang ini bisa sampai sebegitu bencinya. Saya cukup yakin tidak berutang maaf kepada orang ini karena relasi saya dengan dia sangat minim bahkan hampir tidak ada. Garis hidup saya tidak pernah bersilangan dengannya untuk bisa membentuk suatu hubungan yang cukup akrab sehingga dapat menuai konflik. Pun seandainya saya melakukan kekeliruan dan kesalahan, sekali lagi, dia jelas bukan orang yang kepadanya saya berutang kata maaf sehingga menjadi wajar baginya untuk membenci saya. Kalau bahasa saya di atas terlalu ribet: intinya saya tidak kenal akrab dengan orang ini. Hanya sekadar tahu saja. Ada istilah cinta pandangan pertama, mungkin dia adalah opositnya: benci pada pandangan pertama ke saya.
Di momen itu, saya hanya bisa refleksi diri, memperbaiki diri, dan sabar. Sembari memahami bahwa memang tidak semua orang akan suka sama saya dan apa yang diperbincangkan orang lain bukanlah kuasa saya untuk mengaturnya. Saya cukup beruntung memiliki support system yang kondusif, padahal di situasi seperti itu, tidak gila dan suicidal saja sudah bagus. Hari demi hari saya lalui dengan menerima situasi yang kadar ke-absurd-annya semakin menjadi-jadi. Really, words are scary thing. Namun di titik itu, saya tetap mencoba sabar dan tutup telinga walau sebenarnya hati saya sangat teriris dengan apa yang terjadi. Sampai di satu keadaan, saya tidak tahan lagi dan saya memutuskan untuk konfrontasi langsung dengan orang ini. Hal ini saya lakukan sebab menurut saya dia sudah sangat kelewat batas dan bahkan sudah menjurus ke arah kriminal. Saya tanya mengapa. Mengapa sampai harus seperti itu? Orang ini hanya diam. Lalu katanya sih tidak ada maksud jahat, hanya iseng saja. Hari itu, orang ini meminta maaf pada saya atas semuanya, bahkan menulis di secarik kertas tentang kekhilafannya. I still have the paper with me, btw.
Saya tidak tahu apakah saat itu orang ini benar tulus dan ikhlas meminta maaf atau ada motif lain, cuma Tuhan yang tahu. Namun satu hal yang pasti, luka yang orang ini timbulkan sama sekali tidak pernah berkurang rasa sakitnya ketika saya mengingatnya. Betul orang ini sudah meminta maaf, tidak akan saya pungkiri terlepas apakah dia benar tulus atau tidak (lagi-lagi cuma Tuhan yang tahu). Betul pula bahwa saat itu, bibir saya menyatakan memaafkannya because I thought I'd easily over it in days or weeks or months. But after all this time, ternyata saya tidak bisa. Saya belum mampu dan nampaknya tidak akan pernah mampu untuk memaafkannya. It may sound cliche, tapi saya bukan Tuhan yang maha pengampun. Hence, here I am with all the hatred.
Setelah semua hinaan dan kejahatan yang saya terima, orang ini mungkin bisa berdalih '..lah bodo amat, saya sudah minta maaf ini. urusan dia mau maafin atau enggak'. Sedangkan saya di sini harus hidup dengan luka batin yang orang ini timbulkan seumur hidup saya. Dunia memang kadang tidak adil.
*
Apakah kebencian ini mengganggu hidup saya? No in terms of how I am living my life. No at all. In fact, saya merasa hidup saya semakin membaik sejak saat itu. Ketenangan batin, kebahagiaan, kegembiraan, dan kesenangan tetap saya rasakan karena dendam ini tidak bersama saya sepanjang waktu. Dia hanya muncul sesekali, seperti tadi pagi. Layaknya sampah yang tengiknya lebih terasa jika ada angin kencang atau banjir besar. Dendam itu masih di sana, di sudut gelap diri saya. Dan cuitan di linimasa tadi pagi adalah angin kencang yang membawa aroma dendam itu kembali ke hadapan.
Orang bilang, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Dari potongan kehidupan saya tersebut, saya belajar untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun. Saya berusaha keras, sangat keras, untuk dapat menyenangkan hati orang-orang yang telah berbuat baik dan memeluk hati saya dengan doa-doa mereka. Saya berusaha untuk tidak menyakiti hati orang lain dengan sengaja, apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan jahat yang memungkinkan orang tersebut menaruh dendam terhadap saya. Jujur saya takut disumpahin hal-hal buruk sama orang. Terakhir, saya akan selalu cherish orang-orang yang membersamai saya ketika terpuruk dan memilih untuk tetap percaya dan mendukung saya. I am forever thankful for you (plural) (you know who you are).
*
Tuhan yang maha baik dan selalu baik, menutup tulisan ini, saya hanya ingin berdoa semoga saya tidak pernah dipertemukan lagi dengan orang ini atau orang lain dengan kecenderungan sifat yang mirip dengannya. Tuhan, tolong jangan pernah pertemukan saya lagi dengannya, ya? Sepanjang hidup saya, sampai saya meninggalkan dunia ini. Saya akan mencoba melepaskan dendam ini perlahan-lahan dan semoga ketika umur saya habis, sudah tidak ada lagi dendam yang tersisa dalam hati saya. Semoga. Aamiin.
C,
- London menjelang musim gugur.